Jumat, 11 Juli 2025

author photo


Cahaya Perubahan
, Bengkulu - Penanganan kasus dugaan penerbitan sertifikat hak milik (SHM) di dalam kawasan hutan Taman Nasional Kerinci Sebelah (TNKS) belakangan terus mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak. Salah satunya berasal dari organisasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Bengkulu yang secara tegas menilai jika hal tersebut melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana.


Secara tegas, Direktur Walhi Bengkulu. Dodi Faisal, Jumat (11/6) mengatakan jika hal tersebut dapat dipidana sesuatu dengan Pasal 21 dan Pasal 50  UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.


"Jelas hal tersebut merupakan tindak pidana sesuai yang diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 50  UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan," tegasnya.


Tak hanya itu, WALHI Bengkulu juga menilai jika perbuatan tersebut melanggar UU Nomor 32 Tahun 2024 soal Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang melarang adanya perubahan keutuhan kawasan pelestarian alam.


Selain itu,WALHI Bengkulu juga menduga jika dalam permasalahan tersebut terdapat mafia tanah dan keterlibatan Badan Pertanahan setempat.


"Kami mendesak agar tidak hanya SHM yang dicabut tetapi  aktor - aktor yang terlibat  pertanggung jawaban pidananya tetap dilaksanakan sesuai peraturan hukum tanpa ada upaya tebang pilih," tegasnya.


Sekedar mengingatkan, belakangan terungkap jika terdapat puluhan sertifikat hak milik (SHM) ilegal ditemukan mencaplok kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), tepatnya di Desa Pal VII, Kecamatan Bermani Ulu Raya, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu.


Penerbitan sertifikat di atas kawasan konservasi ini terungkap berdasarkan rekaman satelit dari aplikasi BHUMI milik Kementerian ATR/BPN, yang menunjukkan adanya tumpang tindih batas kepemilikan dengan zona taman nasional.


Kepala Balai TNKS Wilayah III, Mahfud, sebelumnya mengonfirmasi jika terdapat puluhan sertifikat yang masuk ke dalam zona TNKS diterbitkan oleh BPN Rejang Lebong sejak 2016. Hal tersebut bertentangan dengan regulasi yang berlaku, mulai dari UU Cipta Kerja, PP No. 28 Tahun 2011, hingga PermenLHK No. 14 Tahun 2023, yang tegas melarang kepemilikan pribadi di dalam kawasan konservasi.


“Kami sudah duduk bersama. Pihak BPN mengakui adanya kesalahan administratif dan menyatakan komitmennya untuk mencabut semua sertifikat,” jelas Mahfud.


Tak hanya itu, mencuatnya permasalahan tersebut benerapa waktu lalu juga menyita perhatian dari Polres Rejang Lebong yang tangkas melakukan penyelidikan guna mengungkap kasus tersebut.


"Proses penanganan sedang berjalan. Kami telah memeriksa sejumlah pihak, termasuk kepala desa, pihak dari BPN, dan beberapa warga,” ujar Kapolres AKBP Florentus Situngkir, melalui Kasat Reskrim Polres Rejang Lebong, Iptu Reno Wijaya, pada Senin (30/6) lalu.


Dikatakan Kasat, penyidik saat ini masih mengumpulkan alat bukti dan keterangan saksi, termasuk dari saksi ahli seperti akademisi dan pakar hukum pidana. Dirinya juga menegaskan jika tidak menutup kemungkinan akan ada tersangka dalam kasus ini. (Red)

Beriklan

Tulisan ini memiliki 0 komentar

Next article Next Post
Previous article Previous Post

Advertisement

banner